Kemandirian :
Kemenangan pendiri dan kesiapsediaan diri
oleh : Br. Suryadi
Kemenangan pendiri ?
Dalam suatu peperangan baik fiksi maupun nonfiksi, untuk meraih suatu kemenangan modal yang diperlukan adalah keberanian untuk berjuang dan berusaha. Sedangkan keberanian menuntut suatu sikap yang siap sedia. Kalau mau belajar dari cerita pewayangan : ketika kelompok Pandawa menang melawan kelompok Kurawa dapat dimengerti bahwa salah satu unsur kemenangan itu akibat keberanian dan kesiapsediaan Werkudara, Puntadewa, Nakula, Sadewa dan Harjuna. Mereka bersatu membangun kekuatan untuk meraih suatu kemenangan. Memang dalam dunia sekarang ini sulit menemukan pribadi seperti mereka yakni yang berani mengatakan : “ Biarlah aku saja yang maju ! Jangan kamu, aku saja ! (jawa :
Jaman dan peradaban memang semakin maju, sarana dan teknologi pun berkembang pesat namun semangat dan daya juang sebenarnya dapat meneladan apa yang dimiliki oleh para pendiri. Sarana yang dipakai oleh P. W. Hellemons dan Vader Vincentius jelas jauh ketinggalan dibanding dengan sarana yang kini tersedia, alat komunikasi, transportasi, serta perabotan. Namun dengan keberanian dan tekad yang teguh persoalan-persoalan dapat diatasi, maka kesiapsediaan menjadi awal suatu kemenangan. Pendiri telah menang mengatasi rintangan-rintangan sebagai variasi perkembangan kongregasi yakni jatuh bangun namun kembali bangkit hingga mencapai puncaknya. Dan pendiri telah meletakkan dasar-dasar karya yang senantiasa menggema dalam peziarahan hidup berkomunitas.
Kesiapsediaan diri ?
(Reflektif, retret pribadi)
Ketika saya memutuskan menanggapi sapaan Tuhan secara khusus perasaan saya ibarat orang yang sembuh dari sakit, biarlah Dia yang selanjutnya menuntun langkah hidupku dan saya percaya bahwa Tuhan akan memakai saya sebagai alat-Nya. Alat yang akan senantiasa ditopang oleh kekuatan Roh. Pribadi-pribadi yang ada dan akan dijumpai sadar pasti akan majemuk. Mereka tetaplah pribadi biasa yang sama-sama siap sedia menghayati panggilan dari keberbedaan baik fisik, asal-usul, adat, kebiasaan. Apa yang ada bukan penghalang namun justru sarana yang menjadi pengikat demi identitas diri sebagai biarawan bruder (saudara bagi yang lain). Pengalaman iman dan pengalaman hidup harian menjadi cakrawala pembuka langkah menuju kesiapsediaan menjawabi panggilan melalui karya perutusan yang diemban. Suatu realita kadang menuntut pemaknaan lebih dari yang muncul dalam rasa. Pada saat Tuhan dekat atau saat mengalami desolasi idealnya mengingat bahwa mencintai panggilan adalah proses yang tak akan berkesudahan kecuali oleh yang illahi. Semua kejadian pantas dan wajib disyukuri.
Dalam karya perutusan senantiasa dihadapkan pada realitas jaman yang jauh dari suatu harapan. Di situlah suatu ujian iman apakah sadar dan tahu konskuensi memilih yang bebas atau terikat oleh cambuk belenggu yang dirasa mengenakkan di antara saudara secita-cita. Proses menerima memerlukan kesiapsediaan, memafkan lebih mudah dari pada melupakan adalah kesadaran akan pentingnya memahami spiritualitas panggilan, saya sadar dan tahu serta mau. Menerima, memahami, melengkapi, membantu dan mendukung masuk dalam unsure bersaudara.
Allah sendiri telah rela hadir dalam diri setiap pribadi dalam bentuk pengalaman-pengalaman iman, Dia telah lebih dulu berkehendak (berinisiatip) memenggil maka tiada ungkapan lain selain kesetiaan menjawabi undangan Tuhan dengan penuh syukur. Dengan menjalani karya perutusan artinya terbuka peluang untuk memahami kehendak Tuhan, namun kita juga ditantang untuk menjadi pelaksana sabda yang handal, bekualitas, dan profesiaonal. Allah juga telah memberikan anugerah cuma-cuma berupa kemampuan untuk dikembangkan demi kemuliaan Allah, maka kitapun diajak untuk senantiasa melibatkan peranan Roh Allah dalam karya-karya hidup baik di komunitas maupun diladang karya. Dengan menjalin komunikasi dengan Tuhan lewat sesama yakin bahwa Tuhan menyertai langkah hidup kita. Untuk lebih menjembatani antara pribadi dengan Tuhan dapat mulai dibangun melalui simbol diri bahwa muncul pengharapan menjadi sarana tercurahnya rahmat Allah pada sesama ibarat tempayan yang dapat diisi kurnia rahmat dari Allah sendiri. Sadar bahwa tempayan adalah benda yang rapuh namun mempunyai nilai dan keunikan, indah serta bermanfaat. Keyakinan akan kerapuhan diri dapat disimbolkan, suatu ketika benda itu bisa retak oleh karena suatu sebab, memang dapat di poles dengan tambalan namun tetap akan mengurangi keindahan meskipun fungsi dan isinya tidak berbeda. Menjaga keindahan itulah tugas dan harapan saya agar benda itu tetap dapat menyalurkan kasih dan karunia terhadap lingkungan sekitar. Memberi curahan air yang meluap bukan karena bocor atau mrembes.
Belajar dari bagimana Allah hadir memberi roh pada pola hidup bruder pendahulu dimana dari kesederhanaan, muncul semangat dan usaha mengembangkan pola hidup Yesus sendiri yakni berbagi terhadap mereka yang lemah, miskin dan tersingkir maka hidup inipun seyogyanya diarahkan demi tujuan, cita dan cinta yang sama. Mempersembahkan hidup adalah wujud dari kesiapsediaan karena keyakinan bahwa Allah memilih bukan dari mereka yang luar biasa namun Tuhan memilih mereka yang siapsedia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar